INVASI ORBITA PADA KARSINOMA NASOFARING
Abstract
Feby Helwina1), Ardizal Rahman2)
1)Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP DR.M.Djamil Padang
email: feby.helwina@gmail.com
2)Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP DR.M.Djamil Padang
email: ardizalrahman@yahoo.com
Abstract
Introduction: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a squamous cell carcinoma arise from the nasopharyngeal epithelium. These tumors can appear in various areas of the nasopharynx, commonly derived from the Rosenmuller fossa, which is a transitional region, where columnar epithelium transforms into squamous epithelium. Nasopharyngeal carcinoma tends to spread and infiltrate surrounding tissue. This cancer can spread superiorly to base of the skull and intracranium that involve cranial nerve. Incidence of base skull and brain invasion has been reported as much as 12-31% in patients with nasopharyngeal carcinoma. Method: This cancer can also attack the nasal cavity, paranasal sinuses, pterygopalatine fossa, and orbital apex. Orbital invasion is relatively rare in nasopharyngeal carcinoma patients. Reported cases of orbital invasion of nasopharyngeal carcinoma in 22-year-old women were diagnosed with protusio bulbi oculi sinistra ec squamous cell nasopharyngeal carcinoma nonkeratinizing undifferentiated stage IV with orbital invasion, with complaints of visible lumps in the left eye, blurred vision, reduced hearing, and a history of bleeding nose. Result: Patients have been known to suffer from nasopharyngeal carcinoma since 2011 with CT scan results of nasopharyngeal carcinoma infiltration into the maxillary sinus sinistra, ethmoid sinus, left sided rice cavity, left sided frontal sinus, and retro orbital sinistra. Conclusion: Currently, the management of invasion of the orbit in surgical nasopharyngeal carcinoma plays a minor role, but radiotherapy and chemotherapy are the main treatments. Previously the patient had chemoradiotherapy.
Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, orbital invasion, protusio bulbi
Abstrak
Pendahuluan: Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di nasofaring namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang merupakan daerah transisional, dimana epitel kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa. Karsinoma nasofaring memiliki kecendrungan besar untuk menyebar dan menginfiltrasi jaringan sekitar. Kanker ini dapat menyebar secara superior untuk melibatkan dasar tengkorak dan intrakranium sehingga menghasilkan keterlibatan saraf kranial. Insisden invasi dasar tengkorak dan otak telah dilaporkan sebanyak 12-31% pada pasien karsinoma nasofaring. Metode: Kanker ini juga dapat menyerang kerongga hidung, sinus paranasal, fossa pterygopalatine, dan apeks orbita. Invasi orbita relatif jarang terjadi pada pasien karsinoma nasofaring. Dilaporkan kasus invasi orbita pada karsinoma nasofaring pada perempuan umur 22 tahun didiagnosa dengan protusio bulbi okuli sinistra ec squamous cell carcinoma nasofaring nonkeratinizing undifferentiated stadium IV dengan invasi ke orbita, dengan keluhan pada mata kiri tampak menonjol, penglihatan kabur, pendengaran berkurang dan riwayat hidung berdarah. Hasil: Pasien sudah dikenal menderita karsinoma nasofaring sejak tahun 2011 dengan hasil CT scan karsinoma nasofaring infiltrasi ke sinus maxilaris sinistra, sinus ethmoid, cavum nasi sisi kiri, sinus frontalis sisi kiri, dan retro orbita sinistra. Kesimpulan: Saat ini penatalaksanaan invasi ke orbita pada karsinoma nasofaring pembedahan memainkan peranan kecil, namun radioterapi dan kemoterapi merupakan penatalaksanaan utama. Pasien sebelumnya sudah dilakukan kemoradioterapi.
Kata Kunci: Karsinoma nasofaring, Invasi orbita, protusio bulbi.
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di nasofaring namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang merupakan daerah transisional, dimana epitel kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa. 1
Kejadian KNF yang bersifat endemik di Asia seperti Cina Selatan, Asia Tenggara Jepang, dan Timur Tengah. Insiden KNF tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di provinsi Guang Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk pertahun. Sementara insiden KNF di dunia tergolong jarang, yaitu 2% dari seluruh karsinoma sel squamous kepala dan leher, dengan insiden 0.5 sampai 2 per 100.000 di Amerika Serikat.2
KNF dapat mengenai berbagai umur, tersering umur 40 - 60 tahun. Mulai meningkat setelah umur 20 tahun dan menurun setelah umur 60 tahun. Angka kejadian KNF pada anak bervariasi antara 1 -5 % dari seluruh kejadian kanker pada anak. Pria lebih banyak daripada wanita, yaitu 3 : 1. 2,3
Gambaran klinis KNF berhubungan dengan perluasan massa dari kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat, terutama ke anterior, lateral, atau superior dan posterior. Oleh karena itu gejala tersering adalah epistaksis, hidung tersumbat, gangguan pendengaran.2,4
Karsinoma nasofaring memiliki kecendrungan besar untuk menyebar dan menginfiltrasi jaringan sekitar. Kanker ini dapat menyebar secara superior untuk melibatkan dasar tengkorak dan intrakranium sehingga menghasilkan keterlibatan saraf kranial. Insisden invasi dasar tengkorak dan otak telah dilaporkan sebanyak 12-31% pada pasien karsinoma nasofaring. Kanker ini juga dapat menyerang kerongga hidung, sinus paranasal, fossa pterygopalatine, dan apeks orbita. Invasi orbita relatif jarang terjadi pada pasien karsinoma nasofaring.4
METODE PENELITIANSeorang pasien perempuan usia 22 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil dengan keluhan mata kiri tampak menonjol bawah sejak 2 bulan yang lalu. Penglihatan mata kiri kabur sejak 6 bulan yang lalu, semakin lama semakin kabur dan dalam 1 bulan ini tidak bisa melihat. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan oftalmogis. Dan pasien direncanakan untuk dilakukan kemoterapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan umur 22 tahun, datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 4 Agustus 2017 dengan keluhan utama mata kiri tampak menonjol bawah sejak 2 bulan yang lalu. Penglihatan mata kiri kabur sejak 6 bulan yang lalu, semakin lama semakin kabur dan dalam 1 bulan ini tidak bisa melihat. Nyeri pada mata kadang dirasakan namun jarang. Pendengaran berkurang. Riwayat terdapat hidung berdarah. Bengkak pada leher sekarang tidak ada. Pasien sudah dikenal menderita karsinoma nasofaring sejak tahun 2011 dan sebelumnya sudah mendapat kemoradioterapi.
Gambar 1. Kemosis pada konyungtiva inferior dengan posisi protusio.
Status oftalmologi mata kiri didapatkan visus No Light Perception (NLP), palpebra tidak edem, konyungtiva terdapat hiperemis, kemosis di inferior. Pada kornea terdapat sikatrik di inferior. Pada pemeriksaan pupil refrlek langsung dan tidak langsung negative dengan diameter 6-7 mm. Pemeriksaan funduskopi ditemukan atropi papil. Pemeriksaan gerak bola mata terdapat keterbatasan gerak dengan posisi protusio (Gambar 1).
Gambar 2. Hasil pemeriksan CT scan region nasofaring dan orbita, dengan potongan axial, coronal tanpa kontras.
Hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan kesan karsinoma nasofaring infiltrasi ke sinus maxilaris sinistra, sinus ethmoid, cavum nasi sisi kiri, sinus frontalis sisi kiri dan retro orbita sinistra, sehingga menyebabkan protusio okuli sinistra dan menekan otot-otot ekstra okular dan nervus optikus (Gambar 2).
Pasien didiagnosa dengan protusio bulbi okuli sinistra (OS) et causa squamous cell carcinoma nasofaring nonkeratinizing undifferentiated stadium IVB. Pada mata kiri diberikan terapi cendolyteers tetes mata dan kloramfenikol salap mata. Tanggal 5 Agustus 2017 pasien direncanakan untuk dilakukan kemoterapi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pada follow up hari kedua tanggal 6 Agustus 2017 kemosis pada konyungtiva mata kiri sudah berkurang setelah dilakukannya kemoterapi dan pada tanggal 7 Agustus 2017 pasien meninggal dunia.
PEMBAHASAN
Karsinoma nasofaring adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah menyebar dibanding kanker kepala leher yang lain. Pada kasus ini seorang pasien perempuan umur 22 tahun didiagnosa dengan protusio bulbi OS et causa squamous cell carcinoma nasofaring nonkeratinizing undifferentiated stadium IVB dengan invasi ke orbita dan atropi papil. Diagnosa didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. 3
KGB regional (N)
NX
KGB regional tidak dapat dinilai
N0
Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1
Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang diatas fossa supraklavikula
N2
Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar diatas fossa supraklavikula
N3
Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm
N3a
Ukuran > 6 cm
N3b
Perluasan ke fossa supraklavikula
Metastais jauh (M)
MX
Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0
Tidak terdapat metastasis jauh
M1
Terdapat metastasis jauh
Tumor Primer (T)
TX
Tumor primer tidak dapat dinilai
T0
Tidak terdapat tumor primer
Tis
Karsinma in situ
T1
Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dana tau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2
Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3
Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dana tau sinus paranasal
T4
Tumor dengan perluasan intrakranial dana tau keterlibatan saraf kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/masticator space
Tabel 1. Klasifikasi TNM berdasarkan AJCC 7,8
B
Stage 0
Tis
N0
M0
Stage I
T1
N0
M0
Stage II
T2
N1
M0
T2
N0
M0
T2
N1
M0
Stage III
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N0
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
Stage IVA
T4
N0
M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
Stage IVB
Any T
N3
M0
Stage IVC
Any T
Any N
M1
Tabel 2. Stadium berdasarkan AJCC 7,8
WHO (World Health Organization) menggolongkan KNF menjadi 3 kriteria berdasarkan diferensiasi sel, yaitu WHO tipe 1 keratinizing squamous carcinoma, WHO tipe II nonkeratinizing squamous cell carcinoma, dan WHO tipe III undifferentiated carcinoma. Stadium pada KNF telah dirumuskan dalam berbagai sistem klasifikasi. Pada tabel 1 dipaparkan sistem klasifikasi TNM (Tumor, Node, Metastasis) staging menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer). Stadium I dan II digolongkan sebagai stadium dini, sedangkan stadium III dan IV digolongkan sebagai stadium lanjut (table 2). Dalam kasus ini terdapat ukuran tumor T4, jenis nonkeratinizing squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma (WHO tipe II dan III) serta berada pada stadium IVB yang merupakan stadium lanjut. 6,7
Data epidemiologi menyebutkan bahwa ras Mongoloid memiliki angka kejadian yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar termasuk dalam ras Mongoloid serta memiliki kebiasaan mengonsumsi ikan asin yang merupakan salah satu bahan makan pokok masyarakat Indonesia. Ikan asin memiliki kandungan nitrosamin yang merupakan salah satu faktor pencetus kanker ini. Nitrosamin juga diteliti terkandung dalam beberapa jenis makanan yang diawetkan, seperti daging olahan. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. 9
Sebuah penelitian terdapat 3 orang pasien perempuan dan 6 orang pasien laki-laki yang didiagnosis dengan KNF yang terbukti melalui biopsy. Rerata usia pasien adalah 37-57 tahun. Satu pasien tidak memiliki riwayat KNF sebelumnya saat pertama kali datang dengan keluhan pada mata. Sebanyak 7 pasien telah mendapatkan radioterapi, dimana 1 pasein dengan metastasis paru telah mendapatkan kombinasi kemoterapi dan radioterapi saat pertama kali didiagnosis dengan KNF. Delapan pasien ini mengalami rekurensi dengan keterlibatan orbita unilateral (4 pasien dalam remisi dan 4 pasien memiliki KNF relaps aktif). 4 pasien memiliki rekurensi multiple sebelum terjadi keterlibatan orbita. 5 pasien datang ke pusat kesehatan awalnya karena keluhan mata sebelum pemeriksaan menunjukkan adanya rekurensi KNF dengan ekstensi ke daerah orbita.9
A
Rerata waktu dari diagnosis primer KNF hingga keterlibatan orbita dari KNF rekuren adalah 8.2 tahun (0.8-29 tahun). Gejala yang muncul adalah massa pada kelopak mata (4 pasien), diplopia (3 pasien), pandangan kabur (3 pasien), protusio bola mata (2 pasien), nyeri orbita (2 pasien), tanda yang ditemukan pada mata adalah keterbatasan gerakan ekstraokular (8 pasien) dan nyeri kepala (1 Pasien). Durasi gejala berkisar antara 1 hingga 5 bulan. Pada pasien ini terdapat invasi pada mata kiri dengan gejala penglihatan kabur pada mata kiri, bengkak pada kelopak mata bawah, protusio, diplopia, keterbatasan gerakan bola mata dan terkadang terdapat nyeri pada bola mata.9,10,11
Gambar 3. A. Tumor yang melibatkan regio orbita. B. Setelah dilakukan kemoterapi dan radioterapi.10
Invasi langsung ke orbita jarang terjadi di karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring adalah tumor yang sangat infiltratif dan ketika menyerang orbita, dapat terjadi melalui beberapa rute. Fossa pterigopalatina dan fisura orbital inferior adalah rute invasi yang paling umum, diikuti oleh invasi melalui sinus paranasal. Fisura orbital inferior merupakan berhubungan langsung antara orbita dan fossa infratemporal. Karsinoma nasofaring yang melibatkan fossa pterigopalatina dan fossa infratemporal dapat masuk langsung ke orbita melalui fisura orbita inferior (Gambar 3). Disisi lain, tumor pada etmoid dan/atau sinus sphenoid dapat mengikis lamina papyracia untuk mencapai orbita medial dan regio retrobulbar. Rute dari sinus ethmoid/sphenoid adalah jalur paling umum kedua invasi orbital. Karsinoma nasofaring yang melibatkan sinus maksilaris mungkin menginvasi orbita inferior melalui lantai orbita. Karena lamina papyracia dan lantai orbita tipis, sehingga menjadi barrier yang lemah untuk melindungi terhadap infiltrasi tumor. 2
Gambar 4. CT scan axial (A) dan coronal (B) terdapat massa diruang extrakonal dan intrakonal orbita kanan (tanda bintang). 4
Pemeriksaan penunjang MRI (Magnetic Resonance Imaging) lebih baik dibandingkan CT scan (Gambar 4) dalam memperlihatkan baik bagian superfisial maupun dalam jaringan lunak nasofaring, serta membedakan antara massa tumor dengan jaringan normal. MRI dapat memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot dan sinus cavernosus. Pemeriksaan ini juga penting dalam menentukan adanya perluasan ke parafaring dan pembesaran kelenjar getah bening. Namun, MRI mempunyai keterbatasan dalam menilai perluasan yang melibatkan tulang. CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor, disamping juga dapat menilai perluasan tumor ke parafaring, perluasan perineural melalui foramen ovale. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan CT scan orbita axial dan coronal, tampak massa infiltrasi ke sinus maxilaris sinistra, sinus ethmoid, cavum nasi sisi kiri, sinus frontalis sisi kiri, dan retro orbita sinistra.12,13,14
Radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Radioterapi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam membunuh sel neoplasma. Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Hsu dan Wang, radioterapi adalah pengobatan pilihan untuk karsinoma nasofaring dan metastasis nodul regionalnya. Kemoterapi digunakan untuk melengkapi radioterapi untuk metastasis nodus lanjut serta untuk mengobati metastasis. Pembedahan memainkan peran kecil dalam pengobatan karsinoma nasofaring. Radioterapi masih menjadi andalan treatment pada pasien karsinoma nasofaring dengan invasi orbital. Pada pasien ini telah dilakukan kemoterapi dan setelah kemoterapi kemosis pada mata kiri tampak mengecil. 15,16,17
Keterlibatan orbital memberikan prognosis yang sangat buruk dalam analisis karsinoma nasofaring. Au dkk menggambarkan tingkat ketahanan hidup selama 5 tahun sebesar 30% pada pasien stadium IV dalam tinjauan retrospektif terhadap 1294 pasien karsinoma nasofaring nonmetastatik. Mereka menemukan bahwa untuk stadium T4 karsinoma nasofaring, intrakranial ekstensi / kelumpuhan saraf kranial dan keterlibatan orbital membawa prognosis yang relatif lebih buruk terhadap karsinoma nasofaring dengan fossa infratemporal atau keterlibatan hipofaring saja. Dengan demikian, dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 28%, hasil penelitian saat ini mengkonfirmasi bahwa keterlibatan orbital memberikan prognosis buruk pada pasien karsinoma nasofaring.18,19,20
SIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah menyebar dibanding kanker kepala leher yang lain. Invasi langsung ke orbita jarang terjadi di karsinoma nasofaring.Nitrosamin merupakan salah satu faktor pencetus kanker. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring.
Pada pasien ini terdapat invasi pada mata kiri dengan gejala penglihatan kabur pada mata kiri, bengkak pada kelopak mata bawah, protusio, diplopia, keterbatasan gerakan bola mata dan terkadang terdapat nyeri pada bola mata.Pada pasien ini telah dilakukan radioterapi dan kemoterapi di RSCM dan RSUP M. Djamil, setelah dilakukan kemoterapi massa pada mata kiri tampak mengecil.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya ucapkan kepada Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Mata RS Dr.M.Djamil Padang yang telah membantu dalam penulisan artikel penelitian ini.
Full Text:
PDFReferences
DAFTAR PUSTAKA
Ma J, Cao S. The Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In: Cooper JS, Lee AW, editors. Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Management. New York: Springer; 2012. pp.1-6.
Saeed H, Zaidi A, Adhi M, Hasan R, Dawson A. Pediatric Nasopharyngeal Carcinoma: A Reviewof 27 Casesover 10 Years at Shaukat Khanum Memorial Cancer Hospitaland Research Center, Pakistan. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2010;10: pp. 917-920.
Shin SC, Hong SL, Lee CH, Cho KS. Orbital metastasis as the Primary Presentation of Nasopharyngeal Carcinoma. Braz J Otorhinolaryngology. 2015;1: pp. 1-4.
Deschler DG, Moore MG. American Joint Committee on Cancer (AJCC) Tumor Staging by Site. In: Smith RV, editor. TNM Staging of Head and Neck Cancer and Neck Dissection Classifiation. Los Angeles:Springer; 2014: pp. 1-23.
Tajdini A, Sinjab M, Hassan S. A Rapidly Progressive Proptosis, a Case Report. Open Journal of Ophthalmology. 2012;2: pp. 37-39.
Compton CC, Byrd DR, Aguilar JG. Head and Neck. In: Olawaiye A, editor. AJCC Cancer Staging Atlas American Joint Committee on Cancer. New York: Springer; 2012. pp. 34-77.
Alberta. Nasopharyngeal Cancer Treatment. Clinical Practice Guideline. Clinical Practice Guideline. 2013;1: pp. 2-17.
Wong WM, Young SM, Amrith S. Ophthalmic Involvement in Nasopharyngeal Carcinoma. Department of Ophthalmology. 2017;1: pp. 1-7.
Sanchez VMA, Suarez MC. Orbital Invasion in Nasopharyngeal Carcinoma. Journal of Clinical Case Report. 2015;5(2): pp. 1
Wei WI, Kwong DL. Current Management Strategy of Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 2010;3(1): pp. 1-12.
Chan ATC. Nasopharyngeal cancer: EHNS-ESMO-ESTRO clinical practice guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology. 2012;23(7): pp. 1-3.
Pfister D, Spencer S,Adelstein D. National Comprehensive Cancer Network Guidelines Head and Neck Cancer. 2016;2: pp.56-63.
Shin SC, Hong SL, Lee CH, Cho KS. Orbital metastasis as the primary presentation of nasopharyngeal carcinoma. Braz J Otorhinolaryngol. 2016; 82(5): pp. 614–
Farooq AV, Patel RM, Lin AY, Setabutr P, Sartori J, Aakalu VK. Fungal Orbital Cellulitis: Presenting
Features, Management and Outcomes at a Referral Center. Orbit. 2015; 34(3): pp. 152–159.
Demirel S, Sarac O. Late corneal perforation with topical diclofenac sodium use after radiotherapy. 2012; 38(3): pp. 197–199.
Du CR, Ying HM, Kong FF, Zhai RP, Hu CS. Concurrent chemoradiotherapy was associated with a higher severe late toxicity rate in nasopharyngeal carcinoma patients compared with radiotherapy alone: a meta-analysis based on randomized controlled trials. 2015; 10: pp. 70.
S. Secondino, M. Zecca. T-Cell Therapy for EBV-Associated Nasopharyngeal Carcinoma: Preparative Lymphodepleting Chemotherapy Does Not Improve Clinical Results. Annals of Oncology. 2012; 23(2): pp. 435-441.
Colaco RJ, Betts G, Donne A, Swindell R, Yap BK, Sykes AJ. Nasopharyngeal carcinoma: a retrospective review of demographics, treatment and patient outcome in a single centre. Clin Oncol (R Coll Radiol). 2013; 25: pp. 171-177.
Cao SM, Simons MJ, Qian CN. The prevalence and prevention of nasopharyngeal carcinoma in China. Chin J Cancer. 2011; 30(2): pp. 114–119.
Li K, Lin GZ, Shen JC, Zhou Q. Time trends of nasopharyngeal carcinoma in urban Guangzhou over a 12- year period (2000–2011): declines in both incidence and mortality. Asian Pac J Cancer Prev. 2014; 15 (22): pp. 9899–9903.
DOI: http://dx.doi.org/10.32883/hcj.v6i1.963
Refbacks
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
HUMAN CARE JOURNAL
Published by Universitas Fort De Kock, Bukittinggi, Indonesia
© Human Care Journal e-ISSN : 2528-665X P-ISSN : 2685-5798